Pemimpindalam pementasan teater adalah? A. Pemain B. Figuran C. Direktur D. Sutradara E. Produser Selamat pagi, siang , sore, malam. Halo teman-teman semuanya semoga kalian sehat selalu dan dimudahkan rezekinya aamiin, pada kesempatan kali ini izinkan Admin Ranahnetizen
KaryaSeni Teater Cak Nun memacu kehidupan multi-kesenian di Yogya bersama Halimd HD, 2BEmha Ainun Nadjib - Kyai Kanjeng - Sang Pelayan. belajar sastra dari guru yang dikaguminya, Umbu Landu Paranggi, seorang sufi. networker kesenian melalui Sanggarbambu, aktif di Teater Dinasti dan mengasilkan beberapa reportoar serta pementasan drama.
Menandaiulang tahun ke-44, Teater Mandiri menyelenggarakan pementasan dengan judul "KOK" naskah terbaru Putu Wijaya yang juga menjadi per Pementasan "KOK" sampai Peluncuran Buku Teror Mental; Perayaan 44 Tahun Teater Mandiri - Kompasiana.com
Keranaletaknya yang berdekatan dengan ibu kota negara maka hampir seluruh. Wayang Golek adalah pementasan sandiwara boneka yang. Dari sumber Cina, yaitu kronik Chu-fan-chi, karya Chau Ju-kua tahun 1225, disebutkan nama Pa-lin-fong (Palembang), adalah salah satu bawahan San-fo-tsi.
Tujuanmereka satu ingin lebih Solid, Smart, dan Speed (3S) dalam bekerja untuk mencai target yang sudah ditetapkan pimpinannya setahun lalu. Mereka adalah rombongan Biro Hukum dan Komunikasi Publik (BHKP), Kementerian Pariwisata (Kemenpar) yang dipimpin M. Iqbal Alamsjah selaku Kepala BHKP Kemenpar.
Pementasanteater dengan lakon "Hah" oleh Teater Mandiri di Graha Bakti Budaya, Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, Sabtu, 14 Desember 2013. Lakon Hah karya Putu Wijaya tersebut menceritakan potret kekinian kehidupan masyarakat miskin yang terhimpit beban ekonomi dan rendahnya pendidikan. [TEMPO/Dian Triyuli Handoko; DH2013121626] Keywords
WalaupunAl Qur'an menjadi sebuah mukjizat, bukti kebenaran dari Nabi Muhammad saw tapi fungsi utamanya adalah menjadi"petunjuk untuk seluruh unmat manusia".Petunjuk yang dimaksud adalah petunjuk agama atau yang biasa disebut syari'at yang dalam pengertian kebahasaan selain "norma/hokum/aturan" juga berarti "Jalan menuju sumber
HakCipta 2016 pada Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Dilindungi Undang-Undang. i is Disklaimer: Buku ini merupakan buku siswa yang dipersiapkan Pemerintah dalam rangka implementasi Kurikulum 2013. Buku siswa ini disusun dan ditelaah oleh berbagai pihak di bawah koordinasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan dipergunakan dalam tahap. ev awal penerapan Kurikulum 2013.
OWRLy. Putu Wijaya bersama Teater Mandiri mementaskan naskah monolog berjudul "TRIK" di Gedung Kesenian Jakarta, Jakarta, Jumat 24/6/2011. Foto ANTARA/ Teresia May – Sebagai hasil Bengkel Teater Yogya, Putu Wijaya terpesona pada kata mandiri yang bermakna bebas secara sosial. Atas dasar ini, pada 1971, Putu kemudian membentuk Teater Mandiri di Jakarta. Ia menerapkan konsep Bali, desa-kala-patra ruang-waktu-keadaan dalam kerja kreatif dan kegiatan kelompok teater yang dipimpinnya. Menurut Putu Wijaya, kata mandiri berasal dari bahasa Jawa. Kata ini dipopulerkan oleh Prof. Djojodigoena dalam kuliah sosiologi di Pagelaran, Yogyakarta, pada 1960-an. Mandiri merujuk pada kemampuan seseorang untuk berdiri sendiri, tetapi juga bisa bekerja sama dengan orang lain. Baginya, kata mandiri ini tampak sangat dibutuhkan dalam pembangunan kepribadian dan jati diri bangsa, di era Indonesia yang telah lepas dari belenggu penjajahan fisik namun masih mengalami berbagai hambatan mentalitas. Di awal berdirinya, Teater Mandiri membuat pertunjukan untuk televisi. Selanjutnya, sejak 1974, kelompok teater ini manggung setiap tahun di TIM dan Gedung Kesenian Jakarta. Putu Wijaya menulis semua naskah dan menyutradarai pementasan Teater mandiri. Tercatat, hanya dua kali Teater Mandiri mementaskan naskah lain. Pertama, naskah “The Coffin Is Too Big for The Hole” karya Kuo Pao Kun Singapura untuk Festival Asia di Tokyo pada 2000. Kedua, naskah “Kereta Kencana” karya WS Rendra 2009 dalam rangka memperingati 100 hari wafatnya Rendra. Alasan Putu Wijaya menulis semua naskah pementasannya adalah karena dia tidak hanya ingin menyutradarai pertunjukan semata, tetapi juga menghasilkan naskah—sesuatu yang menjadi semangat dalam kehidupan teater modern di Indonesia. Naskah-naskah Teater Mandiri memiliki kekhasan, yaitu judulnya hanya terdiri dari satu kata, sebagian di antaranya bahkan hanya satu suku kata. Bagi Putu, dalam kata seruan yang umumnya hanya terdiri atas satu suku kata seperti wah, lho, dor, dan sebagainya, tersimpan banyak rasa dan pengertian. Ambuitas makna dalam kata-kata itu menimbulkan kelucuan dan keanehan, tetapi juga kedalaman bagi yang suka berpikir. Tokoh-tokoh dalam naskahnya rata-rata tidak bernama, bahkan tidak jelas latar belakangnya. Hal ini sengaja dilakukan untuk menampung kemajemukan yang dimiliki Indonesia dalam berbagai dimensi, seperti keberagaman bahasa, ideologi, agama, standar sosial, pendidikan, dan lain sebagainya. Dengan membuat karakter seperti tokoh dongeng, lakon menjadi netral sehingga bisa diadaptasikan ke mana saja. Memang ada resikonya, yaitu cerita jadi tidak bersifat eksklusif. Sebagai orang Bali, Putu Wijaya mengadopsi falsafah Bali ke dalam pementasannya. Bahkan, ia memiliki gaya yang mirip dengan lukisan Bali yang cenderung mengabaikan perspektif dan “ketaksesuaian”. Teaternya penuh kejutan dengan berbagai peristiwa yang tidak masuk akal, humor lugas, anekdot mengejutkan, akrobatik, dan sebagainya. Adegan-adegan tersebut dipentaskan sebagai tontonan yang penuh warna dan gerak, dengan musik yang dinamis sekaligus datar. Menurut Putu Wijaya, Teater Mandiri memiliki 2 acuan dalam bekerja. Pertama, “Bertolak Dari Yang Ada.” Maknanya adalah untuk mengajak anggotanya belajar untuk menerima dan menghayati apa yang ada, kemudian memanfaatkannya, dan mengoptimalkannya untuk mencapai apa yang dikehendaki. Menurutnya, dengan dasar ini, semua kelemahan diberdayakan menjadi kekuatan sehingga tak ada yang tak dapat menghentikan proses. Proses menjadi sangat penting, lebih penting dari hasil. Para pendukung diajak belajar bekerja secara gotong-royong sebagai sebuah tim yang padu. Sebagaimana juga kehidupan, produk teater tidak pernah selesai, selalu berkembang dan tumbuh. Kedua, “Teror Mental.” Teror mental atau kegoncangan pada jiwa dimaksudkan untuk membuat seseorang berpikir kembali, sehingga waspada. Bagi Teater Mandiri, tontonan tidak semata-mata bertujuan untuk menghibur. Bahwa tontonan memiliki fungsi menghibur memang dimanfaatkan. Namun, yang hendak dikejar adalah mengguncang batin sehingga tercipta pengalaman spiritual. Diharapkan, baik dalam diri penonton maupun para pendukung pementasan, akan bangkit kesadaran baru. Teater dalam berbagai aspeknya dikembangkan secara maksimal untuk membentuk jati diri. Anggota Teater Mandiri berasal dari berbagai kalangan dan profesi. Hanya sedikit aktor/pemain yang benar-benar pemain mau bergabung, sehingga Teater Mandiri pernah dijuluki people theater oleh seorang sutradara asal Taiwan. Di dalam Teater Mandiri, keaktoran yang memerlukan “peran” kadang kala mengganggu, karena, naskah bisa dirombak dan dipreteli serta dialog dibagi-bagi seperti membagi tugas sesuai dengan desa-kala-patra ruang-waktu-keadaan. Desa-kala-patra adalah konsep kerja dalam kearifan lokal Bali yang mendasari proses bekerja di Teater Mandiri. Dengan cara kerja “Bertolak Dari Yang Ada”, tak ada yang bisa menghalangi apa yang ingin dikerjakan, asalkan mengadaptasi desa-kala-patra secara kreatif. Bahkan bila perlu, konsep pun akan dilanggar dan ditolak, kalau memang sudah tidak sesuai/terbukti tidak benar lagi dari sudut desa-kala-patra. Hal ini tidak berarti bahwa Teater Mandiri tidak punya pendirian. Dengan cara ini, Teater Mandiri dapat tumbuh, berkembang, dan hidup yang wajar, serta mampu membebaskan diri dari dogma-dogma yang salah atau kedaluwarsa. Pemikiran ini terbukti ampuh. Di umurnya yang sudah hampir setengah abad ini, Teater Mandiri tetap berdiri dan tetap semangat berkarya. Sumber
Teater Mandiri didirikan di Jakarta pada 1971. Kata mandiri berasal dari bahasa Jawa, yang dipopulerkan oleh Professor Djojodigoena dalam kuliah sosiologi di Pagelaran, Yogyakarta, pada tahun 60-an. Artinya orang yang sanggup berdiri sendiri, namun juga bisa bekerjasama dengan orang lain. Kata itu nampak sangat dibutuhkan dalam pembangunan kepribadian/jatidiri bangsa,di era lepas dari penjajahan phisik namun masih digondel banyak hambatan secara mentalitas.. Mula-mula Teater Mandiri membuat pertunjukan untuk televisi Orang-Orang Mandiri, Apa Boleh Buat, Tidak, Kasak-Kusuk, Aduh. Aduh dan Kasak-Kusuk walaupun sudah direkam tetapi tidak disiarkan karena situasi politik saat itu. Selanjutnya dengan lakon ADUH, pada 1974 Teater Mandiri mulai main di TIM. Sejak itu Teater Mandiri setiap tahun muncul di TIM dan Gedung Kesenian Jakarta GKJ. Naskah yang pernah dipentaskan Anu, Lho, Entah, Nol, Blong, Hum-Pim-Pah, Awas, Dor, Edan, Aum, Gerr, Los, Tai, Aib, Yel, Bor, Ngeh, Wah, War, Luka, Dar-Der-Dor, Zoom, Jangan Menangis Indonesia, Zetan, Zero, Cipoa dll. Semua naskah itu ditulis dan disutradarai oleh Putu Wijaya. Hanya satu kali teater Mandiri mmentaskan naskah lain, yakni The Coffin Is Too Big for The Hole karya Kuo Pao Kun Singapura untuk Festival Asia di Tokyo pada tahun 2000. Alasan Putu hanya memainkan naskahnya sendiri, adalah karena dia tidak hanya ingin menyutradarai pertunjukan tetapi juga menghasilkan naskah – sesuatu yang memang sedang diupayakan dalam kehidupan teater modern di Indonesia. Naskah-naskah Teater Mandiri memang memiliki sesuatu yang khusus. Judulnya hanya satu kata. Karena dalam kata-kata seruan yang umumnya terdiri dari satu suku kata seperti wah, lho, dor dan sebagainya, tersimpan banyak rasa dan pengertian. Ambuitas kata-kata itu menimbulkan kelucuan, keanehann tetapi juga kedalaman bagi yang suka berpikir. Tokoh-tokohnya rata-rata tidak bernama, bahkan tidak jelas latar belakangnya, sehingga hanya mirip seperti ide sana. Ini untuk mengantisipasi kemajemukan di In donesia yang meliputi banyak hal. Perbedaan bahasa, idiologi, agama, standar sosial, pendidikan dan sebagainya. Dengan membuat karakter seperti tokoh dongeng, lakon jadi netral, bisa diadaptasikan ke mana saja. Memang resikonya, lakon jadi tidak eksklusif. Pertunjukannya Teater Mandiri cenderung menjadi seperti esei visual. Nyaris teater seni rupa. Jenis pertunjukan ini pernah sangat sukses waktu pertunjukan LHO di Teater Arena TIM. Tetapi dua pertunjukan visual yang tanpa naskah berikutnya ENTAH dan NOL tidaki diminati penonton, sehingga Teater Mandiri kembali kepada kata. Namun sejak 1991, karena menjadi utusan Indonesia di dalam KIAS , bermain di 4 kota Amerika yang tidak paham bahasa Indonesia dan Mandiri sendiri tak mampu memainkan lakon dalam bahasa Inggris, Teater Mandiri dengan pertunjukan Yel kembali pada elemen visual, sampai sekarang. Biasanya, karena memang struktur naskahnya, sekali masuk pentas, pemain Teater Mandiri hampir tidak keluar lagi. Ini terjadi sejarahnya untuk menghindarkan pemain yang kebanyakan bukan aktor kehilangan konsentrasi dan ngeloyor main-main kie tempat lain. Jadi pertunjukan Teater Mandiri memang seperti sebuah peperangan. Cepat, keras dan padat. Paling banter sekitar 90 menit. Sebagai kelompok, Teater Mandiri bukan sebuah organisasi tetapi adalah peguyuban. Tempat berlatih, bertemu dan mengembangkan diri. Bergabung dengan Teater Mandiri tak hanya untuk menjadi pemain teater, tetapi juga mengembangkan jati diri untuk memperoleh kemandirian. Egy Massadiah, salah seorang anggota Teater Mandiri kini sudah menjadi pengusaha muda yang sukses. Ia mengaku di dalam mengatur taktik dan strategi di dalam binis, ia mempraktekkan motto dan kiat kerja yang diopelajarinya waktu masih aktig di Teater mandiri. Teater Mandiri memiliki 2 acuan dalam bekerja. Pertama “Bertolak Dari Yang Ada”. Maknanya adalah untuk mengajak anggotanya belajar untuk menerima, menghayati apa yang ada dan kemudian memanfaatkannya, mengotimalkannya untuk mencapai yang dikehendaki. Dengan dasar ini tak ada yang tak dapat menghentikan proses. Semua kelemahan diberdayakan menjadi kekuatan. Proses menjadi sangat penting, lebih penting dari hasil. Para pendukung diajak belajar bekerja gotong-royong sebagai sebuah tim yang kompak. Sebagaimana juga kehidupan, produk tidak pernah selesai, selalu berkembang dan tumbuh. Kedua “Teror Mental”. Teror mental adalah kegoncangan pada jiwa yang membangkitkan seseorang berpikir kembali, sehingga waspada. Bagi Teater Mandiri, tontonan tidak semata-mata bertujuan untuk menghibur. Bahwa tontonan memiliki fungsi menghibur memang dimanfaatkan. Tetapi yang hendak dikejar adalah mengguncang batin, sehingga tercipta pengalaman spiritual. Diharapkan baik dalam diri penonton, maupun para pendukung akan bangkit kesadaran baru. Teater yang memiliki berbagai aspek, dikembangkan secara maksimal untuk membentuk jatidiri. Anggota Teater Mandiri dari berbagai kalangan. Mahasiswa/pelajar, pegawai negeri/karyawan, wiraswata, pengangguran, dosen/guru, bintang film/sinetron, tukang sapu, tukang parkir bahkan juga bekas narapidan, pemulung serta orang yang cacad tubuh.. Hanya sedikit aktor/pemain yang benar-benar pemain mau bergabung, sehingga Teater Mandiri pernah dijuluki people theater oleh seorang sutradara dari Taiwan. Di dalam Teater Mandiri keaktoran yang memerlukan “peran” kadangkala mengganggu, karena, naskah bisa dirombak dan dipreteli serta dialog dibagi-bagi seperti membagi tugas sesuai dengan desa-kala-patra. Desa-kala-patra tempat-waktu-suasana adalah konsep kerja dalam kerifan lokal di Bali memang mendasari proses bekerja di Mandiri. Denga cara kerja Bertolak Dari Yang Ada, tak ada yang bisa menghalangi apa yang ingin dikerjakan, asalkan mengadaptasi desa-kala-patra secara kreatif. Bahkan konsep pun bila perlu akan kami langgar dan tolak sendiri, kalau memang sudah tidak sesuai/terbukti tidak benar lagi dari sudut desa-kala-patra. Apakah itu berarti tidak punya pendirian? Entahlah, kami hanya ingin tumbuh, berkembang dan hidup yang wajar, tidak terkekang oleh dogma-dogma yang salah atau kedaluwarsa. Pada awalnya Teater Mandiri juga seperti teater-teater yang lain, menitikberatkan persembahan pada kata. Cerita dan tokoh-tokoh sangat penting. Konflik pun menjadi utama. Hanya saja bedanya, cerita di dalam Teater Mandiri yang khusus dibuat, adalah semacam karikatur atau dongeng. Penonton tidak diminta percaya pada apa yang terjadi di panggung empati. Bahkan penonton diyakinkan bahwa apa yang terjadi di panggung adalah kepura-puraan yang diulebih-lebihkan. Yang dipentingkan adalah suasana. Orang banyak atau massa menjadi tokoh berhadapan dengan individu. Sementara individu sendiri adalah juga bagian dari kelompok. Bagi Teater Mandiri yang penting bukan apa yang terjadi di panggung, tetapi apa yang kemudian terjadi di dalam sanubari penonton. Tontonan – itu istilah Teater Mandiri untuk menamakan penampilannya, adalah semacam anggur/tuak/berem. Akibat-akibat dari apa yang diminum itulah yang lebih penting. Teater mandiri percaya bahwa tontonan adalah sebuah spiritual yang memberikan pengalaman spiritual, baik pada penonton maupun pemain sendiri. Dialog-dialog Teater Mandiri, blak-blakan, keras, kasar, tetapi selalu lucu. Menghindar dari mencerca/mengejek orang lain, sehingga kritikan-kritikan sosialnya kadangkala tidak jelas. Lebih mengarah pada dan menjadikan dirinya sendiri sebagai bulan-bulanan, sebagai provokasi untuk mengajak semua orang untuk mawas diri. Mungkin itu sebabnya, Teater Mandiri sampai sekarang tidak pernah berhubungan dengan “yang berwajib” Pada tahun 1975 dalam pertunjukan LHO, tontonan diakhiri dengan mengundang penonton keluar. Lalu para pemain yang telanjang bulat di dalam gerobak sampah, dibuang ke kolam seperti limbah. Sementara di kolam beberapa orang kampung jongkok berak, membicarakan masalah-masalah politik. Untuk itu Gubernur Ali Sadikin marah. Putu pun dipanggik ke Komdak untuk ditanyai. Ketika ditanya oleh wartawan apa reaksi Putu, Putu hanya menjawab, bahwa seandainya dia Gubernur dia juga akan melakukan persis seperti yang dilakukan oleh Ali Sadikin. Belakangan memang ketahuan bahwa Ali Sadikin sengaja mendahului marah untuk melindungi TIM,. Sudah lama TIM mau dijamah dan diawasi aparat, karena itulah satu-satunya tempat bebas yang tidak kena sensor saat itu. Teater Mandiri sudah melakukan pertunjukan di Amerika Wesleyan, CalArt, New York, Seatle, Jepang Tokyo, Kyoto, Hong-Kong, Singapura, Taipeh, Hamburg, Cairo. Dan pada bulan Juni 2008 akan ke Praha dan Bratislava. Kolaborasi dan workshop selalu diupayakan di tempat kunjungan, sehingga teater menjadi peristiwa tukar pengalaman yang menumbuhkan pengertian. Jadi dalam pertunjukan juga terjadi proses pembelajaran buat para anggota Teater Mandiri sendiri. Putu Wijaya sendiri sudah pernah menyitradarai pertunjukan di Amerika dan main di LaMaMa New York. Pada tahun 2004 Putu menyutradarai di Beograd. Bulan Juni 2007 diminta LaMaMa untuk menjadi instruktur para sutradara dalam lokakarya di Umbria, Itali. Dari pengalaman perjalanan itu, jelas sekali teater modern Indonesia memiiliki peluang untuk hadir di percaturan teater dunia.. Apa yang dipraktekkan oleh Teater Mandiri — yang sangat memuliakan kearifan lokal Indonesia – adalah salah satu langkah kecil untuk membuat sejarah teater dunia memperhitungkan bukan hanya teater tradisi Indonesia tetapi juga teater modern Indonesia yang merupakan kelanjutan dari teater tradisinya. Sejak tahun 90-an, Teater mandiri memang lebih banyak main di mancanegara, meskipun tetap berusaha minimal sekali setahun di Tanah Air. Anggota Teater Mandiri yang masih aktip sekarang antara lain Yanto Kribo, Alung Seroja, Ucok Hutagaol, Arswendy Nasution, Fien Hermini, Aguy Sabarwati, Diyas Istana, Bambang Ismantoro, Sukardi Djufri, Agung Anom Wibisana, Kleng Edy Sanjaya, Umbu LP Tanggela, Chandra, Rino, Dr Soegianto, Corin Danuasmara, Cobina Gillitt, Dewi Pramunawati, Putu Wijaya. Para artis yang pernah main di Mandiri Warkop, Dewi Yull, Dewi Irawan, Rachael Mariam, Butet Kertaredjasa dan Rieke Dyah Pitaloka Memang anggota Mandiri itu-itu juga. Yanto Kribo, misalnya sudah ikut Mandiri sejak 1974. Dalam pertunjukan War di Taipeh, seorang Professor bertanya, mengapa Mandiri tidak melakukan kaderisasi dan mempergunakan pemain-pemain muda. Putu menjawab “Pertanyaan Anda seperti mau mengatakan bahwa umur adalah ukuran kekuatan. Orang-orang yang berumur ini jauh lebih kuat sekarang dibandingkan dengan ketika mereka pertama kali ikut saya. Kribo sekarang jauh lebih tangguh dari Kribo 30 tahun lalu! Di samping itu saya memang tidak memaksakan kaderisasi, karena itu tidak tak ada gunanya. Ini orang-orang datang sendiri pada saya dan pergi sendiri kalau mereka tidak butuh. Memang tidak banyak yang tertarik pada teater seperti Teater Mandiri. Kalau nanti benar-benar tidak ada lagi, ya apa boleh buat, saya akan main sendiri.” Sejak pementasan ZAT pada tahun 1982, Teater Mandiri selalu didampingi Harry Roesly dan DKSB untuk musik. Harry Roesly sangat cocok dengan Putu. Seringkali tidak diperlukan latihan, langusng saja main. Kadang-kadang Harry menganggap gambar-gambar di pentas sebagai partitur dan sebaliknya sering Putu menganggap musik Harry Roesly sebagai naskah. Duo ini berkelanjutan sampai pertunujukan WAR 2004, karena kemdian Harry Roesly mendahului. Sampai sekarang Teater Mandiri belum mendapatkan gantinya. Satu lagi pendukung setia Teater Mandiri adalah Rudjito. Penata artistik ini selalu berproses selama pertunjukan, sehingga “set” baru rampung sesudah pertunjukan berakhir. Pernah dalam pertunjukan DOR di Teater Arena, 2 hari sebelum pertunjukan, Rujito minta supaya set dibalik. Di dalam hati Putu marah sekali. Sebagai pemain utama yang memainkan peran Hakim, Putu jadi terpaksa membelakangi penonton terus-menerus. Tetapi karena merasa tertantang, Putu menyambut tantangan itu. Nyatanya memang lebih bagus. Tantangan bagi Teater Mandiri memang buka halangan, tetapi kesempatan. Kendala bukannya menghambat, tetapi justru memberikan inspirasi untuk meloncat lebih tinggi sehingga menghasilkan surprise. Karena itu dalam masa penih kekangan di masa lalu, teater Mandiri tidak pernah merasa kebebasannya dipasung. Di mana ada halangan atau penindasan di situ ada pelung untuk berkelit. Teater Mandiri percaya, di setiap kegagalan selalu bersembumnyi janji asal berani dan mau meraihnya. Pada 10 Juni Teater Mandiri akan berangkat ke Praha memainkan ZERO. Kemudian akan dilanjutkan dengan pertunjukan di Bratislava. Sebelum itu untuk uji coba, Teater Mandiri akan main di STSI Bandung pada 1 Juni dan GKJ pada 7 Juni.
› Mode›Ah, Absurditas Pentas Teater... Keruwetan dan absurditas menjadi tema yang kerap digarap oleh Teater Mandiri selama ini. Sekali lagi, tema itu diangkat dalam lakon Ah karya Putu Wijaya dalam pentas daring lima babak. ARSIP TIM TEATER MANDIRIPementasan daring, Ah, Teater Mandiri, yang tayang perdana dua pekan lalu di kanal Youtube akun Budaya Saya. Di tengah masyarakat yang absurd, akal sehat kerap kali harus dipaksa untuk memilih. Pilihan yang menghadirkan situasi bak makan buah untuk berkompromi, memilih untuk mengalah, atau memilih untuk bertahan, tetapi dengan konsekuensi nyawa terancam, tidak ada yang benar-benar merupakan keputusan bijak. Mengalah atau berkompromi kadang dilakukan demi menjaga keutuhan atau membuat nyawa tetap di kandung badan. Namun dalam konteks tertentu, mengalah dan berkompromi punya dampak mengerikan, bahkan lebih mengerikan ketimbang risiko kematian. Selain mengabaikan hati nurani, opsi mengalah bisa memajalkan kewarasan, yang pada ujungnya membuat orang tak berdaya setiap kali menghadapi keabsurdan dan absurditas menjadi tema yang kerap digarap oleh Teater Mandiri selama ini. Sekali lagi, tema itu diangkat dalam lakon Ah karya Putu Wijaya dalam pentas daring lima babak. Pentas ini telah ditayangkan perdana dua pekan lalu di akun kanal Youtube, Budaya lewat telepon, Rabu 2/3/2022, Putu bercerita, kisahnya itu terinspirasi sebuah kejadian nyata dari pengalaman seorang dokter muda yang dikenalnya. Sang dokter, menurut Putu, seperti juga dikisahkan dalam lakonnya, ditempatkan di sebuah desa terpencil di salah satu provinsi di Indonesia. Daerah pelosok, yang relatif tak terjangkau kemajuan teknologi TIM TEATER MANDIRIPementasan daring, Ah, Teater Mandiri, yang tayang perdana dua pekan lalu di kanal Youtube akun Budaya Saya. ”Tempatnya bertugas ada di pelosok dan kondisinya sangat bersahaja. Sementara yang namanya orang sakit kan selalu ada di mana-mana,” ujar waktu, tambah Putu, dokter muda kenalannya itu harus mengambil tindakan darurat berupa pembedahan demi menyelamatkan nyawa pasien yang datang kepadanya. Lantaran ketiadaan alat medis memadai, sang dokter terpaksa mengoperasi pasiennya dengan alat seadanya tanpa mengoperasi pasiennya menggunakan pisau silet. Operasi sebetulnya berhasil dan si pasien terselamatkan. Namun, kabar tentang itu sampai juga ke Jakarta. Si dokter muda ini lantas dipanggil pulang lalu diberi sanksi karena dianggap malapraktik. ”Cerita tadi menginspirasi saya membuat Ah ini,” tambah vs dukun Dalam Ah, Putu juga bercerita soal perjalanan seorang dokter muda perempuan Laila Uliel El Na’ma, yang ditempatkan di pelosok daerah terpencil. Masyarakat di tempat penugasan sang dokter sebenarnya masih terbilang masih percaya hal-hal berbau klenik, mistik, serta perdukunan. Awalnya sang dokter diceritakan tak terlalu bermasalah dengan kondisi tadi. Satu-satunya masalah hanyalah soal gajinya, yang baru bisa diterima setiap tiga bulan asistennya, seorang pemuda cerdas bernama Pao Ari Sumitro, sang dokter menjalani hari-harinya dengan tenang. Masalah baru muncul saat istri seorang warga desa Bambang Ismantoro dikabarkan sakit TIM TEATER MANDIRIPementasan daring, Ah, Teater Mandiri, yang tayang perdana dua pekan lalu di kanal Youtube akun Budaya Saya. Oleh dukun setempat Jose Rizal Manua si pasien sakit itu disebut menderita lantaran ada dua ekor ular kobra yang masuk ke perutnya. Diagnosa sang dukun tadi jelas ditentang oleh sang dokter. Sayangnya si pasien dibawa sudah dalam keadaan terlambat alias meninggal suami pasien serta sang dukun mengaku tak bisa terima jika pasien tersebut dikatakan telah meninggal dunia. Mereka mengamuk dan mengancam akan membunuh sang dokter berikut mereka ternyata baru reda saat dokter itu memberikan sejumlah uang, yang diambil dari gajinya. Hal itu berlanjut jadi kebiasaan. Sampai-sampai sang dokter terpaksa menjual apa saja yang kampung terus berdatangan membawa anggota keluarga mereka yang sebetulnya telah meninggal dunia dan meminta untuk disembuhkan. Mereka baru mau pulang setelah mendapat sejumlah uang dan kemudian memakamkan jenazah keluarganya itu. ”Saya terharu. Saya sedih. Saya menangis. Alangkah miskinnya kita. Kematian bisa dihibur dengan uang,” ujar sang dokter sambil meratapi juga Konspirasi Orang-orang yang Mengaku Suci Absurditas lain juga dialami dokter itu saat dipanggil untuk mengobati seorang kepala suku, yang katanya sakit keras. Kepala suku itu dianggap pahlawan lantaran telah berjasa mempersatukan seluruh suku yang ada di daerah sang kepala suku ternyata juga sudah meninggal, malah dengan kepala terpenggal dan tubuh tertukar. Akan tetapi anak kepala suku Taksu Wijaya malah murka dan juga mengancam sang dokter saat diberi tahu ayahnya telah meninggal dunia dengan kepala terpenggal dan tubuh baru terhenti saat asisten dokter mengacungkan bendera Merah Putih kecil aksesori hiasan kendaraan bermotornya yang rusak akibat tabrakan saat terburu-buru mendatangi rumah kepala kepala suku terkesan dengan kalimat yang disampaikan sang dokter, yang menyebut pahlawan tak akan pernah mati lantaran akan terus hidup abadi dalam hati setiap orang. Dia pergi baik-baik menerima kematian bapaknya sambil terus mengulang-ulang kalimat tadi di depan anggota sukunya yang lain.”Sebetulnya dia seorang pemuda yang cerdas. Makanya dia tergugah rasa kebangsaannya saat melihat bendera Merah Putih tadi. Dia juga terkesan dengan kalimat yang disampaikan sang dokter,” ujar karakter dokter muda itu, Putu juga berpetuah. Sebagai sesama anak bangsa kita, menurut Putu, harus menyayangi dan menjaga anggota masyarakat kita yang masih tertinggal dan hidup serba terbatas di pelosok-pelosok.”Kekurangan mereka kan kekurangan kita juga sebetulnya. Kalau ada kesalahan jangan mereka dijelek-jelekkan. Kita harus kasih tahu ke mereka di mana letak kesalahannya secara baik-baik. Bukan dengan menyebut mereka bodoh, kurang pendidikan, atau malas,” ujar pementasannya kali ini, Putu kembali memberi judul unik, yang sekaligus juga mengundang tanda tanya dan multi-interpretasi. Dalam karya-karya terdahulunya hal serupa juga dilakukan. Judul pementasan atau naskah hanya terdiri dari satu kata berupa kata seru, seringnya bersuku kata hanya satu seperti Wah, Hah, Lho, Dor, Tai, Aum, Aduh, Ayo, dan Teater MandiriPementasan daring, Ah, Teater Mandiri, yang tayang perdana dua pekan lalu di kanal Youtube akun Budaya Saya. Dokumentasi Tim Teater Mandiri”Saya suka judul-judul yang bisa multi-interpretable karena saya tidak ingin memaksakan pemaknaan. Judul seperti itu memang untuk memancing rasa penasaran dan interpretasi. Jadi kata ah bisa diartikan apa saja. Mau ah, kaget boleh, ah jelek boleh, atau ah apa saja. Saya memang suka memulung kata-kata yang jarang dipakai orang,” kini tengah mempersiapkan pementasan baru berjudul Ha-ha-ha, bercerita tentang kehidupan pasangan suami istri yang sudah berumur. Direncanakan April mendatang pementasan itu juga akan ditayangkan secara tidak terlalu mempersoalkan pentas secara daring. Baik pentas daring maupun luring buat Putu sama-sama punya kekurangan dan kelebihan. ”Cuma dalam kondisi sekarang yang sulit bagaimana meyakinkan sponsor,” ujarnya.